Hujan 11 November

Posted on 02.22 by Dandelion Senja | 0 komentar


Dingin merasuk,
Gigil mengilukan
Matahari terperangkap kelam, mati suri...
Awan mengarak mendung
Rinai menghujam bumi...
Aku, sendiri
Di bawah atap gemuruh,
Jiwai kelam mendung
Angin tajam memisau hening, rerintikkan bergemericik,
Pepohonan menari-nari selaras irama hujan...
Basah... pun dimataku...

Sekarang mungkin waktu untukku menangis. Semenjak aku sadar bahwasanya sayap harapanku benar-benar patah hari ini. Kau telah bersamanya, mengarung samudra impianmu. Berlayar dalam perahu hatimu, bersamanya.
Semenjak aku terbangun dan menyadari aku mencintaimu, bahwa harapanku telah tinggi. Saat itu pula aku sadar sesungguhnya harapan-harapanku yang tersemat dalam sayap asa, akan segera patah. Mati, terbawa angin. 
Namun tidak dengan cinta tersembunyi ini. Ia masihlah sebuah rasa yang terpatri dalam relung hati, dan entah kapan dapat benar-benar menguap lalu hilang.
Sejenak saja, beri waktumu membaca sajak yang kurajut. Untukmu dan tentangmu. Bukan untuk merayumu, hanya selarik  puisi yang mungkin atau pasti mati, bersama terkuburnya harapan. 
Berjalanlah, nikmati gerimis bahagiamu bersamanya. Berbahagialah. Lukis mimpi-mimpi indahmu. Karena meski kuturunkan lagi hujan, aku takkan memintamu tinggal sekalipun aku ingin.

11 November 2011
Long last ; for someone  : )

Diam-Diam

Posted on 09.20 by Dandelion Senja | 2 komentar


 Aku mengagumimu diam-diam
Melihatmu, mencoba mengenalmu sepihak,  dalam diam pula…
Lalu diam-diam rasa merayap  perlahan, aku mulai menyukaimu…
Mulai mengkhayalkanmu,
Nikmati sisi indahmu dalam diam…
Sebentuk rasa asing hinggap, aku rasa aku mencintaimu (diam-diam pula)

Aku melihatmu diam-diam,
Melengkungkan senyumku sendiri,
Memeluk rinduku sendiri
Menangis sendiri..
Juga diam-diam…

Aku memelukmu diam-diam dalam uluran doa..
Berharap menjadi nyata, namun selalu nampak maya..

Beribu tanya menyeruak.
Haruskah terus diam-diam?

Lentera Hati

Posted on 02.00 by Dandelion Senja | 0 komentar


terbangun aku malam itu, lirih suara tawamu terdengar jelas olehku.
aku berjalan perlahan mendekati jendela, ku buka dengan binar-binar harapan, harapan yang selalu tentangmu. angin dingin segera menyambutku, dinginnya menusuk.
mengibaskan helai demi helai rambutku. ah, semoga saja angin ini tidak mengibaskan harap yang selama ini kurajut.

lagi-lagi senandung tawamu terdengar. ku coba mencari di mana kau. Kau. entah harus dengan apa dan bagaimana segala tentangmu dapat musnah dari pikiranku.
akhirnya ku temukan dirimu, sesaat. lalu hilang lagi tertelan gelap malam yang mencengkramku.
ku cari lagi sosokmu. Dan kutemukan lagi. Ya, di sana rupanya...di bawah temaram cahaya Sang bulan, kau tersenyum. Begitu sempurna. Tapi siapa wanita di sampingmu itu? Gelap. Samar. Tak dapat ku lihat jelas.

perih. sekejap saja kenyataan itu menerbitkan embun di pelupuk mataku, menggenang di sana. gerimisku datang.
dengan setengah terisak ku coba untuk mendekatimu. kenapa harus ku temui kau dengan seseorang.

"hey jangan turunkan hujan saat ini!", ku dengar suaramu terseru di antara gerimis.

aku terus mendekatimu dan wanita itu, wanita yang kau peluk jemarinya.
namun justru rasa hangat merayapiku. Gerimis apa ini?
semakin dekat semakin jelas... wanita itu... “apa itu aku?”,
“tentu saja, ini dirimu”.
perlahan kau lukis senyum di bibirku, benar-benar gerimis yang membawa kehangatan.

Ya, telah ku temukan jawabnya... lenteraku, lenteramu, lentera KITA...kembali menyala setelah sekian waktu redup dan hampir padam.