Perbedaan masih mengabu, pilu
Adalah aku yang bersujud di atas sajadah
Dan engkau yang berdoa di depan altar...
Masih kuingat masa itu. Senja terakhir yang kita lalui bersama. Aku diam, kau diam. Hening. Barangkali kita terbisu, berbisik pada angin sepoi terbangkan pilu. Resahmu, resahku. Dan kita sama-sama tertawa oleh kepedihan.
Sebab jurang kian luas sebagai pemisah...
Bahwasanya aku pun kau telah tahu masa kita akan datang. Masa di mana mendung kita merinai hujan. Tentang melepaskan, merelakan, dan kembali. Sebab mereka dan barangkali semesta berduka menyaksikan kita, bila tetap kita kayuh langkah. Begitupun aku dan kau. Luka kita, melawan pertentangan pada mereka yang tak jua kirim restu.
Hingga pada akhirnya kita hanya bisa menangis diam-diam. Karena kita sama-sama tahu bahwa kita akan kuat, bila kita sama-sama kuat.
Darimu aku belajar dewasa. Dan darimu, aku akan belajar melepaskan. Kau bagiku dan aku bagimu, adalah sebentuk titipan dari Tuhan. Dan mungkin kini saatnya, untuk mengembalikan dan berjalan kembali.
Bukan aku dan kau tak pantas bahagia. Namun percayalah bahwa kita akan jauh lebih bahagia, kelak. Atau mungkin nanti, dikehidupan selanjutnya. Tuhan kembali pertemukan kita, satu, tanpa perbedaan.
Berjalanlah, kita akan saling menjaga dari jauh. Semoga perpisahan ini menjadi bahagia kelak, untukmu dan untukku.
Raihlah cinta hakiki kita. Sehakiki kematian. Cinta hakiki, cinta sejati. PadaNYA, pada Tuhan.